Minggu, 16 Oktober 2011

Menunggu Lahirnya Reog n’Roll, Jathilan Jazz, Ebeg Rock & Metal Kuda Lumping?

Share
Anggap saja ini ide nyeleneh tapi tetap beradab. Mengolaborasikan kegilaan musisi rock dengan mistikal kebudayaan lokal. Hmm, sebenarnya bukan hal baru sih. Band rock lawas Rawe Rontek pernah mendistribusikan roh mistikal debus dengan rock yang mereka ganyam. Hasilnya memang heboh ketika di panggung, meski itu tidak selalu berarti mereka bakal sukses di industri.
Tak banyak musisi yang mengerti tentang sejarah, budaya dan sinergi antara karya dan kebudayaan. Ketika manggung, mereka hanya benar-benar manggung dan menjadi musisi an sich. Tak peduli band pop, rock, dangdut atau jazz misalnya. Mereka hanya berpikir soal performance, tapi nyaris tak pernah memikirkan bagaimana diversifikasi dan kreatifitas musikalitas yang mereka usung, kemudian bisa menjadi pergelaran budaya utuh
Saya hanya membayangkan, kelak ketika dunia makin ‘beruban’ dan budaya tradisi makin diabaikan, alangkah malangnya nasib pecinta kesenian yang terbodohi oleh modernisasi semu. Mereka hanya mengenal dunia sekarang tanpa pernah menginjak masa lalu. Padahal Soekarno, proklamator kita itu, pernah mengatakan: “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” atau terkenal dengan singkatan JasMerah. Ini konkruen juga dengan relic-relic kebudayaan lokal itu.
Saya termasuk orang yang suka dengan akulturasi, apapun itu, termasuk budaya. Ketika musik bersinergi dengan budaya itu, akan lebih menarik ketika menghasilkan satu budaya baru yang memperkaya
Saya mengambil contoh budaya reog. Buat saya, kesenian asli Ponorogo ini punya spirit rock n’ roll yang amat kental. Mereka –para pemain reog itu—punya kekuatan linuwih yang membuat mereka bisa mengangkat topeng yang beratnya puluhan kilogram dengan menggigitnya. Atau mengusung manusia di atas topeng itu, tetap dengan menggigitnya. Gambaran keberanian dan karakter laki-laki yang tegas, kuat dan egois, nampak semua dalam filosofi reog itu
Tiba-tiba pikiran saya membayangkan bagaimana seandainya reog itu berpadupadan dengan dinamika musikal modern. Meski hanya dalam wujud sinergi di panggung, tapi kekuatan energi yang muncul pasti akan memberi kekuatan untuk lebih diperhatikan. Jangan sampai semua merasa memiliki nasionalisme [omong kosong] ketika diklaim oleh pihak lain. “Kalau sudah diakui pihak lain, baru kita berteriak. Jadi, mengapa kita tidak memperkuat kecintaan kepada budaya itu,” ucap seorang punggawa punk, yang beberapa kali tampil ala reog di panggung.
Itu hanya contoh saja. Kita bisa menyinergikan jathilan, atau ebeg [Banyumas], Kuda Lumping atau bentuk kebudayaan lain yang bergerak dengan dinamika modernisasi. Katakanlah musik. Musik juga lahir sebagai satu kebudayaan. Kalau kemudian lahir berbagai genre yang lebih cepat melesat, punya fans dan pengikut yang besar, alangkah baiknya menggamit budaya lain yang similair dan bisa bersinergi.
Kelak ketika muncul jenis musik bertajuk Reog n’Roll, Ebeg Rock, Jathilan Jazz atau Metal Kuda Lumping, kita tidak kaget dan justru bangga karena itulah muatan lokal yang menggembirakan. Bukan sesuatu yang naïf bukan?
sumber

Senin, 26 September 2011

[Tentang] Musik Indonesia

Share
HARI INI, saya mencoba menjejer beberapa CD [dan kaset lama] Indonesia di lantai. Agak pening memang, karena koleksi saya ternyata tidak sedikit dan cukup memenuhi kamar yang sudah mirip kapan pecah ini. Kemudian saya membuka sampulnya dan melakukan “kerepotan” dengan membaca lirik beberapa album itu. Entah mengapa, saya jadi ‘bergidik’ melihat perkembangan lirik itu. Kenapa?
DARI sisi pemujaan terhadap kebanggaan Indonesia, musisi sekarang nyaris lemah dari pengungkapan kata-kata bertema Indonesia. Banyak memang yang bicara soal Indonesia dalam lagu-lagunya, seolah mereka adalah nasionalis sejati ketika membuatnya. Tapi, bukankah itu menjadi booming ketika beberapa hal yang menyangkut harga diri bangsa ini disentil?

1. Melawan Plagiat
Sempat kecewa, ketika banyak musisi dituding melakukan plagiat atas karyanya. Tak Cuma musisi kemarin sore, karena banyak musisi yang sudah punya nama besar pun dituding melakukan hal yang memalukan ini. Tapi saya tersenyum kemudian, ketika banyak musisi lain berani mengatakan tidak untuk plagiat ini. Sebusuk apapun karyamu itu, ketika dibuat dengan kejujuran dan kesenanghatian, akan lebh banyak yang mengapresiasi.

2. Melawan Homogenitas
Jangan pernah katakan, musik melayu itu buruk. Jangan pernah katakan, musik dangdut itu kampungan. Jangan pernah katakan, musik rock itu brangasan dan tak beretika. Jangan pernah sebut-sebut, musik pop itu hanya mencari kesenangan sesaat. Hal yang bikin saya tetap cinta musik Indonesia adalah adanya heterogenitas. Mungkin kalau bicara soal industri massal, musik pop [melayu khususnya] memang masih jadi “juaranya” tapi fakta bahwa musik Indonesia punya ragam yang menarik, itu fakta. Melawan homogenitas itu penting dan tetap harus dilakukan. Biar ada penyeimbang. Ibarat timbangan, harus seimbang biar hitungannya balance.

3. Melawan Lipsync
Ini juga termasuk "penipuan besar" dalam industri musik kita. Dan repotnya, dilakukan di depan mata kita sebagai pelaku atau penikmat industri musik itu. Repotnya lagi, hal itu dibiarkan saja bertahun-tahun. Sekadar membagi fakta: dua penyanyi China, Starlets Yin Youcan dan Fang Ziyuan kedapatan hanya bercuap-cuap saat mereka konser di Provinsi Sichuan. Mereka di denda sekitar 80 ribu yuan atau Rp. 110 juta. Di Indonesia, penipuan seperti itu tidak dihukum, malah dibiarkan menjadi-jadi. Untung ada yang melawan dan menolak tampil dengan kebohongan seperti itu.

4. Pembelajaran Artis
Makin banyak anak muda yang bermimpi jadi musisi atau artis. Bagus, selama hal itu dilakukan dan dikejar dengan cara yang positif. Sayangnya, di Industri musik yang makin padat ini,. Penipu, broker atau memang penjahat berkedok pelaku industri masih berkeliaran. Alhasil banyak band yang tertipu. Apalagi band yang basisnya di daerah. Dalam obrolan ‘omong-kosong’ dengan banyak musisi yag bisa membantu penggarapan musik, tidak sedikit band-band yang dijanjikan rekaman, promosi dan tampil ditelvisi, akhirnya hanya jadi pepesan kosong. Wartawan musik, manajer sukses, label, atau pengamat musik yang paham soal industri ini, harusnya sering-sering memberikan pembelajaran lewat caranya masing-masing untuk memberi informasi yang benar kepada anak-anak muda itu. Jangan sampai mereka kapok dan tertipu. Fakta terbaru, 90 % masalah musik di Indonesia adalah persoalan kontrak. Benar, bahwa industrinya sudah sesak, tapi memberikan kesempatan untuk berkarya, bukan sebuah aib bukan?

5. Sadar Diri itu Seleksi Alam
Memang menggiurkan industrinya. Nggak heran, beragam profesi yang sebelumnya sudah sukses tertarik terjun ke industri musik ini. Ada yang berniat membuka label, jadi manajer band, cari calo, broker atau malah jadi penyanyinya. Ini yang menarik, magnet penyanyi ini menarik banyak profesi dari pesinetron, bupati, polisi, pengamen, penjahat, lawyer, atau model mungkin. Tak semua punya kualitas, lebih banyak yang punya backing uang saja. Tapi semua itu memang seleksi alam. Yang punya kualitas pasti akan bertahan, sementara yang hanya mengandalkan popularitas dan modal besar, niscaya akan tergusur. Saran saya, mending sadar diri daripada sudah buang-buang uang banyak, tapi ternyata hanya ‘isi waktu luang’ doang. Hasilnya juga tidak jelas.

6. Label itu Bukan “Tuhan” – Bukan Segala-galanya

Ubah mindset bahwa label adalah ‘tuhan’ atas industri musik ini. Bahwa masuk label adalah segala-galanya. Banyak yang sukses lewat non-label. Benar, bahwa mereka adalah lembaga yang sudah established dan punya strategi apapun untuk menyokong karier artisnya. Tapi mereka bukan segala-galanya. Ketika gagal masuk label, seolah dunia sudah runtuh. Tidak! Cobalah dengan cara lain. Dan diluar sana, banyak yang akan membantu dengan tulus, bukan membantu dengan “tanduk” yang akhirnya menipu.

Dan inilah saat saya berbangga dengan Indonesia. Siapkah kita, manusia-manusia yang selalu berkubang dengan industri musik dengan segala tetek-bengeknya itu berkata, “Indonesia, Musik Gue ini Buat Lo!

sumber



Selasa, 20 September 2011

Profil Musica Studio's

Share
Berawal dari pekerjaan Yamin Widjaja (Amin) sebagai pemilik toko elektronik dan distributor album rekaman yang membuka outletnya di kawasan Pasar Baru, dimulailah sejarah panjang industri rekaman terbesar di Indonesia. Toko elektronik dan distributor rekaman tersebut didirikan pada awal tahun 60-an dengan nama toko Eka Sapta. Pak Amin Cengli - begitu Yamin Widjaja biasa disapa - secara tak sengaja banyak berkenalan dengan orang-orang tenar di dunia musik, antara lain almarhum Bing Slamet, Ireng Maulana, Enteng Tanamal dan Idris Sardi. Pergaulan di seputar orang musik itulah yang pada akhirnya menjadi inspirator lahirnya nama band Eka Sapta.

Sebagai pemilik toko elektronik dan distributor rekaman yang ikut membangun band Eka Sapta, Amin bergerak lebih jauh dengan mendirikan perusahaan rekaman sendiri. Pada awalnya ia meminjam alat rekaman milik perusahaan Remaco, membuat rekaman di Singapura dan membangun studio rekaman sendiri dengan nama PT Warung Tinggi di kawasan Warung Kopi Jakarta. Perusahaan ini pada awalnya memproduksi sejumlah rekaman, satu diantaranya adalah album Titiek Puspa. PT Warung Tinggi inilah yang merupakan embrio berdirinya PT Metropolitan Studio pada tahun 1968. Hoki Amin Cengli - ayah 6 anak dan istri Lanni Djajanegara itu - kian berkembang. Pada awalnya memproduksi rekaman band Eka Sapta, karya lagu dan suara almarhum Bing Slamet, A. Riyanto dan sejumlah rekaman lain dalam bentuk piringan hitam (PH) dan kaset.

Seiring dengan sukses debut rekaman tersebut, pada Oktober 1971, Amin merubah nama PT Metropolitan Studio menjadi PT Musica Studio's dalam bentuk akte pendirian perusahaan rekaman formal. Sejak saat itulah berlangsung pembenahan perangkat lunak dan perangkat keras perusahaan rekaman ini, misalnya dari jumlah studio rekaman yang hanya 2 buah dengan masing-masing 4 tracks pada tahun 1968 menjadi 8 tracks pada tahun 1979, berkembang lagi menjadi 16 tracks pada 1981 dan 24 tracks pada tahun 1983. Kini jumlah studio rekaman yang terletak di kompleks PT Musica Studio Jl. Perdatam Pasar Minggu Jakarta Selatan itu berjumlah 5 buah.

Sebagai perusahaan rekaman terbesar di Indonesia, Musica Studio's segera melakukan inovasi dalam pola kerja manajemen produksi. Sumber daya manusianya ditingkatkan, kualitas produksi album rekaman diperbesar. Sewaktu Yamin Widjaja meninggal dunia pada bulan Agustus 1979, istrinya Ny. Lanni Djajanegara bersama 4 dari 6 anaknya - mengambil alih kendali, menjadi tulang punggung 'kerajaan bisnis' rekaman PT. Musica Studio's. Empat orang putera-puterinya itu adalah Sendjaja Widjaja, Indrawati Widjaja, Tinawati Widjaja dan Effendy Widjaja. Di bawah kuartet pekerja rekaman bertangan dingin ini, PT Musica Studio's berkembang bagai kerajaan musik raksasa di Indonesia, yang berhasil mengantar orang-orang musik muda menjadi artis tenar di bumi Indonesia. Sebelum itu, PT. Musica Studio's juga didukung oleh keluarga Widjaja lainnya, yaitu Seniwati Widjaja dan Sundari Widjaja.

DARI CHRISYE SAMPAI PESTA RAP

Musica Studio's menjadi kantung-kantung dan base-camp artis tenar Indonesia. Setelah era A. Riyanto, Emilia Contessa, Ineke Kusumawati, Vivie Sumanti, Rhoma Irama dan Erni Johan di tahun 60-an, kemudian muncul nama tenar Rafika Duri, Harvey Malaihollo, Jamal Mirdad, Chrisye, Andi Meriam Mattalatta, Hetty Koes Endang, Rita Rubby Hartland, Elly Sunarya, Grace Simon pada tahun 70-an. Pada dekade 80-an muncul nama-nama tenar Betharia Sonata, Iwan Fals, Nani Sugianto dan lain-lain. Kemudian pada dekade 90-an seiring dengan munculnya trend grup dan jenis musik yang beragam - Musica Studio's membidani popularitas Trio Libels, Kahitna, Java Jive, Comedian Project Pop dan penyanyi solo Inka Christy, rapper Iwa K dan sejumlah album kompilasi. Juga tak boleh dilupakan, Musica Studio's berperan besar pada lahirnya kelompok musisi remaja tenar Base Jam.

Bekerjasama dengan perusahaan rekaman Sky Records, HP Records, Jackson Records, CMM dan Nur Records; Musica Studio's membangun perusahaan publishing dengan bendera Musica Group. Dengan label ini lahir nama tenar baru dan lama, antara lain album-album best selling Lisa A. Riyanto, Nia Paramitha dan Pesta Rap. Sementara itu bekerja sama dengan perusahaan rekaman di Malaysia, Musica Group ikut mengedarkan album-album grup tenar dari Malaysia dengan label BMG, Life Record Malaysia, Pony Canyon dan Warner Music Malaysia.

TRADISI PEMBERIAN PH EMAS DAN PERAK

Musica Studio's juga sering melakukan terobosan mengesankan dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan prestasi insan musik Indonesia. Di mulai pada tahun 1983, bertempat di Hotel Indonesia Jakarta, diberikan penghargaan piringan emas (Gold Record) dan piringan perak (Silver Record) untuk artis rekaman berprestasi dari sisi penjualan PH atau album rekamannya. Nama Hetty Koes Endang, Jamal Mirdad, Rafika Duri, Harvey dan Chrisye, pernah menerima penghargaan ini.
Tradisi pemberian Gold dan Silver Record terhenti pada awal tahun 90-an, seiring dengan kian maraknya pemberian penghargaan dari institusi luar, antara lain BASF Award dan Anugerah HDX. Dua lembaga penghargaan itu, belakangan menghilang, dan di tahun 1997 yang lalu lahirlah lembaga lain bernama Anugerah Musik Indonesia. Pada tahun 80-an itu, sebenarnya tradisi awarding di dunia musik ala Musica bisa mendampingi kegiatan sejenis yang pernah dipopulerkan Angket Siaran ABRI yang dikelola oleh stasiun penyiaran RRI sejak awal dekade 70-an. Waktu itu sejumlah artis tenar Musica Studio's ikut meramaikan pesta kemenangannya sebagai 'mega bintang terpopuler'.

Memasuki abad globalisasi, jajaran pimpinan Musica Studio's sadar betul harus segera mengantisipasi perkembangan jaman dengan mengadakan banyak perubahan. Sumber Daya Manusia-nya lebih ditingkatkan, lebih khusus lagi yang membidangi masalah teknis rekaman. Kecuali membekali sound engineer dengan pengetahuan rekaman modern, pimpinan Musica Studio's juga mulai merancang tampilan yang lebih canggih dari peralatan rekaman, akustik ruang rekam dan tak kalah penting adalah, pembenahan fisik kantor. Belakangan - tepatnya sejak tahun 1995 - Musica Studio's untuk pertama kalinya melakukan pembenahan kualitas rekaman, juga membuka diri dalam mengerjakan jasa mastering disamping memperteguh kekuatannya sebagai produser eksekutif (lewat pimpinannya) dan distributor album produksi perusahaan lain.

Sementara itu - masih berkaitan dengan era globalisasi - jajaran pimpinan Musica Studio's lantas melebarkan sayapnya dengan bekerja sama lewat perusahaan rekaman lain. Struktur organisasi ditingkatkan, SDM kian dimantapkan dengan cara mempelajari teknologi baru di studio lain di luar negeri, termasuk memulai menerapkan tata cara mastering.
Memasuki tahun 1998 ini PT Musica Studio's memiliki karyawan sekitar 60 orang, 15 orang diantaranya menguasai teknis rekaman, sisanya adalah tenaga administrasi, promosi, sampai divisi 'pencari bakat'. Perusahaan rekaman ini akhirnya tak hanya bergerak di jenis musik yang banyak diburu orang seperti pop dan dangdut, tapi juga mulai merambah ke jenis musik lain, seperti R&B, rock, rap, dance, alternatif, techno dan banyak lainnya. Jadi, sangat wajar jika pada perebutan beragam penghargaan untuk insan musik seperti BASF Award, Anugerah HDX, Anugerah Musik Indonesia atau yang bersinggungan dengan tayangan video klip seperti Video Musik Indonesia, artis-artis tenar yang berkibar lewat bendera Musica Studio's, hampir selalu menduduki deret papan atas yang terkondang dan berkualitas. Ini semua terjadi karena kesetiaan dan kerja keras jajaran artis, staf pimpinan dan karyawan Musica Studio's pada motto perusahaan : Mengutamakan Mutu dan Kepuasan Anda!

Jakarta, 1 Maret 1998

Musica Studio's, Jl. Perdatam No.3 Pancoran.
Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia.
sumber

Kamis, 15 September 2011

Perlukah FANATISME di Musik?

Share
SEORANG filsuf bernama Arthur Schopenhauer [1788-1860] pernah mengatakan musik adalah salah satu jalan untuk manusia keluar dari dunia yang penuh dengan penderitaan, sebab manusia hanya memiliki dua jalan yaitu estetis (seni) dan etis (perbuatan baik). Bahkan seorang filsuf atheis seperti Friedrich Nietzsche [1844-1900] berujar, hanya musik yang memberikan arti dalam hidup manusia. Musik dapat menjadi tempat pelarian sementara manusia dari kenyataan hidup.
Maknanya mungkin tak sesederhana tampaknya. Banyak filsuf lain yang juga berucap betapa pentingnya musik dalam hidp manusia. Dalam satu artikel yang ditulis oleh Yason Christy Pranowo, musik vokal atau yang biasa disebut bernyanyi adalah musik yang sumber bunyinya dari suara manusia. Jenis musik inilah yang sebenarnya paling indah dan mulia dibanding instrument musik lain, karena mengutamakan suara manusia yang notabene merupakan ciptaan Tuhan yang berkategori sempurna.
Suara manusia ini adalah dasar dalam bermain musik vokal. Suara manusia yang digunakan untuk menyanyi adalah nada yang telah beraturan secara alami yang dapat mengalunkan berbagai warna suara, tangga nada melodi atau lagu.
Tetapi suara yang digunakan untuk menyanyi harus diolah lagi dengan tehnik vokal yang lebih baik agar tercapai keindahan yang dapat memberikan kepuasan bagi pendengarnya, yang lebih sering disebut sebagai olah vokal.
Semua orang bisa ‘menyanyi’, tetapi sedikit yang bisa menjadi ‘penyanyi’, karena penyanyi adalah orang yang dapat dan mampu mengembangkan suara dengan tehnik-tehnik olah vokal yang baik dan benar.
Secara filosofis, musik bisa menjadi salah satu alat pengeluaran manusia yang paling efektif ketika merasakan sedih, seneng, gembira, atau ketika sedang terpuruk. Para peneliti dalam bidang pengobatan tengah melakukan penelitian terhadap khasiat-khasiat pengobatan dari musik. Semasa dalam kandungan ibunya, seorang bayi dapat mengembangkan suatu reaksi terhadap musik. Dari lima indera manusia, kemampuan pendengaran manusia adalah hal pertama yang “dapat tercerahkan.”
Bayi yang belum lahir di dalam kandungan ibunya dapat mendengar detak jantung, nafas, dan pembicaraan ibunya. Karena itulah para orang tua modern memberikan para bayinya pendidikan pra-lahir, seperti mendekatkan ibu-ibu hamil kepada musik. Secara klinis musik yang elegan dan rileks membantu mengurangi tingkat stress, melapangkan pernafasan dan memelihara organ.
Seorang ilmuwan Amerika menemukan bahwa musik terdiri atas gelombang-gelombang resonansi, yang dapat mempengaruhi perasaan seseorang dan menenangkan tubuh manusia. Sementara itu, musik mengandung berbagai macam irama, sedangkan pergerakan tubuh kita cenderung mengikuti irama-irama musik. Karena itu, perubahan-perubahan irama musik dapat mempercepat dan mengatur bioritme-bioritme kita. Karenanya, beberapa dokter mahir akan secara sungguh-sungguh memilih musik dengan berbagai macam irama untuk menyembuhkan para pasien dari berbagai gejala penyakit.
Menurut seorang Yockie Suryo Prayogo, musik adalah energi sebuah perasaan yang keluar dari dalam lubuk hati manusia. Dia tak berbentuk sama , dia tak tak bisa diharapkan keluar dari layar monitor komputer kita. Dia bukan rumusan teori yang bisa diciptakan setelah dipelajari dibangku sekolah.
“Bagi saya musik seperti sebuah ‘agama’ namun tak ber-Tuhan , karena itu tak perlu fanatik terhadapnya, namun wajib tulus dan ikhlas serta jujur menjalaninya. Karena musik juga sebuah karya seni yang bersandar pada nilai-nilai kesucian. Tak ada karya seni baik yang tak bersandar pada nilai kesucian tersebut. Dan bagi saya salah satu nilai kesucian musik adalah kejujuran.”
sumber

Cara CERDAS Masuk Industri Musik

Share
Di industri musik sekarang ini, pelaku-pelakunya seperti label, band, penyanyi, distributor, dan siapapun yang menikmati periuk ini, sudah tak bisa lagi mengandalkan cara-cara konvensional untuk mendapat hasil yang maksimal. Harus ada suatu langkah revolusioner dan menakjubkan untuk mendapat respon yang menarik tentunya.
Banyak musisi yang benar-benar euphoria ketika mendapat kontrak dengan label besar [atau kecil sekalipun]. Mereka kemudian melonjak menjadi band yang bersiap masuk industri yang –konon—cukup ketat [dan kejam mungkin]. Tapi justru disaat itulah, sebenarnya mereka harus mempersiapkan diri supaya tidak cepat-cepat tergilas dan kemudian meletup menjadi asap yan tertiup angin.
Dalam wawancara dengan seorang musisi dari Amerika Serikat dan Belanda. Mungkin kita sudah tahu, bagaimana industri musik di negara tersebut. Bisa dibilang, jauh lebih maju dibanding Indonesia. Baik secara manajerial, teknologi atau pun karya-karyanya.
Dalam wawancara itu, ada satu kesimpulan yang bisa ditangkap. Mungkin saja tidak tepat seperti yang saya gambarkan ini, tapi bisa menjadi satu gambaran bagaimana industri disana bergerak. Dalam istilah musisi yang berada di ranah jazz itu, kebanyakan industri musik dijalankan oleh para musisi dan label besar yang berpengaruh. Mereka menganggap industri itu seperti mesin yang dapat diukur, dirancang dan dikendalikan dan di-Manage. Cara ini memang berhasil ketika musisi yang terjun dalam industri ini masih bisa dikendalikan dengan sempurna.
Tentu saja kini –masih menurut musisi jazz itu— industri musik akan akan mengalami banyak perubahan. Kelak, arahnya tidak lagi menjadi “mesin” semata, tapi sistim jaringan social, jaringan kerja dan strategi yang revolusioner akan lebih dominan.
Tentu saja hal itu tidak semudah membalik telapak tangan. Pergerakan itu juga banyak mengalami hambatan dari”orang dalam” sendiri yang sudah terbuai dengan status quo itu. “Kecuali ada satu movement cara berpikir da berbicara tentang bagaiman industri itu diolah dengan cara yang lebih strategis. Jika tidak, industri yang menopang kami ini akan tetap tersandung dan jatuh,” ujarnya. Dia tentu saja tidak hanya bicara soal industri jazz, tapi industri musik secara global.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah industri musiknya juga bergerak seperti mesin, kemudian juga bergerak menuju perubahan yang revolusioner dengan ide-ide gila yang menarik?
Kita memang masih berkutat di seputar pembajakan, materi lagu yang dianggap tidak berkualitas, dan strategi promosi [dan distribusi] yang cukup efektif. Maklum saja, kini peredaran musik sudah bergeser tak lagi fisik yang dicari, tapi digitalized sudah masuk. Tak perlu beli CD, karena cukup lewat email, kita sudah bisa mendapat album utuh dari musisi yang kita inginkan.
Industri kini dilihat sebagai sepotong teknologi, bahkan mungkin potongan teknologi kecil, yang kelak akan lebih dahsyat sisi positifnya dan negatifnya. Dua kubu yang saling mengintai itu. Meski begitu, industri musik Indonesia dianggap masih memiliki kemampuan untuk melahirkan musisi yang cukup berkualitas dan berkelas. Meski sudut pandangnya masih bisa diperdebatkan.

Strategi Industri Yang Revolusioner
Jangan terlalu serius kalau saya menggunakan istilah revolusioner. Saya hanya ingin menggambarkan, bagaimana sebaiknya pemikiran, langkah dan strategi yang dipakai dalam industri musik ini, benar-benar menjadi langkah yang antisipatif. Mungkin saya terlalu cepat menyebutnya, Anda boleh memilih evolusi.
Tapi apa saya tulis ini merupakan satu rangkuman dari berbagai obrolan dan wawancara dengan para pelaku industri musik. Baik musisi, label, atau distributor. Termasuk didalamnya, musisi yang sudah sukses menikmati hasil di industri musik Indonesia.
Seorang CEO perusahaan multinasional besar, pernah mengatakan, “Saya adalah seorang pembawa misi!”
Saya jadi teringat ketika beberapa band besar manggung di Indonesia. Dalam sesi wawancara, mereka selalu mengatakan, “Saya terus menerus berkeliling dunia, selain konser dan bertemu banyak orang dari banyak negara, saya juga ingin memberikan penjelasan tentang apa yang sedang kami buat dengan karya kami, dan juga mengapa memilih mengerjakannya. Karena kami ingin karya kami bisa membawa misi.”
Di Indonesia, banyak musisi boleh saja berkilah, boro-boro mikirin pernik-pernik soal manajerial dan visi jangka panjang, lah wong ketika dilirik label saja sudah jadi anugerah. Pemikiran yang benar untuk band yang ingin sukses tapi cepat mati dan tak didengar karyanya lagi.
Membentuk band, kemudian berusaha membesarkannya sebenarnya adalah investasi. Seperti membangun sebuah perusahaan, perlu waktu untuk masuk ke dalam ruang yang ingin dibangunnya. Investasi itu tentu berharap menguntungkan dan bisa menghidupi banyak orang untuk jangka panjang. Kalau berharap invstasi itu balik modal cepat dengan perencanaan yang tidak matang, mungkin bisa, tapi percayalah, pondasi akan secepat itu pula ambruk.
Ada beberapa hal yang bisa secara de facto dan de jure bisa dilakukan sebagai langkah awal. Pemahaman ini akan menjadi benderang seandainya band, penyanyi atau musisi, mau belajar dan memetakan misinya sebelum mereka mentas sebagai satu karya dan produk.

1.Percaya diri dan percaya kepada orang lain.
Bagi pemain baru, percaya kepada diri sendiri dan orang yang bisa kita percaya, dapat memberi kita rasa percaya diri untuk masuk dalam ranah ketidaktahuan dan untuk selanjutnya membekali diri menjadi lebih tahu. Menariknya, ada satu musisi Indonesia ketika diwawancara soal strategi ini menyebut satu kombinasi ‘sifat ragu-ragu yang logis’
Ternyata dalam ‘bisnis musikal’ sikap rendah hati dalam menerima orang sebagai kepercayaan, kadang bisa salah. Ini terbukti dengan “rusaknya” hubungan band atau penyanyi dengan manajernya yang kadang-kadang sudah kenal tahunan.
Akan lebih menarik kalau sama-sama bicara dengan baik, tanpa mengabaikan pendapat orang lan. Kadang orang yang kita anggap bodoh, justru mempunyai gagasan yang tidak pernah kita duga. Ingat, industri ini butuh kerjasama di semua lini.

2.Semangat dan Fokus
Semangat dalam melakukan pekerjaan, membuat lagu, promosi dan berpikir bagaimana supaya si artis ini laku, memberi energi dan kekuatan untuk memberikan yang terbaik. Harusnya, ketika ini bisa disinergikan dengan semua komponen dalam industri, hasilnya akan baik. Meski banyak hal lain yang tidak pernah kita duga juga.

3.Mencintai Industrinya
Kalau tidak mencintai industrinya, mengapa berniat masuk ke industri ini? Ini bekal penting untuk kemudian berani melakukan banyak yang positif demi memajukan industri musik itu sendiri. Kecintaan ini tidak bisa muncul secara tiba-tiba tanpa persiapan. Musisi yang kecebur harus benar-benar mempersiapkan perangkat untuk “lari marathon” dan tidak “mati” di tengah arena. Artinya, eksis untuk jangka waktu panjang, perlu dipupuk jauh-jauh hari.
sumber

Strategi Membuat Manajemen Band

Share
Apa sih yang bisa dinikmati musisi ketika mengetahui data Asiri tahun 2008, 96 Persen CD yang beredar di pasaran adalah bajakan? Hanya 4 Persen yang asli. Kalau terjun langsung ke pasar, mungkin ditanya bisa lebih trenyuh lagi. Karena angkanya bisa lebih kecil lagi. Tapi mungkin kita bisa berkilah, buktinya banyak artis yang bisa kaya [mendadak] karena RBT-nya tinggi [banget].
Menurut saya, ada dua kekuatan yang berbeda. Satu sisi kita bicara bentuk fisik dari album band, satunya kita bicara soal digitalized. Konon, bentuk fisik album sekarang sedang mengalami degradasi nilai. Terbukti dengan makin merosotnya penjualan fisik CD hinggal 50-60 persen. Data ini disampaikan oleh beberapa petinggi label yang merasakan bagaimana imbasnya ke pasar. Implikasinya memang berjejer ke distributor. Banyak retailer kaset atau CD yang akhirnya tutup, karena kalah bersaing dan tidak mampu menutup operasionalnya. Kecuali yang punya benar-benar “gila” dan cinta musik habis-habisan. Tapi sampai kapan?
Sekarang, semua serba digital. Industri musik pun tak cuma menghadapi pembajak fisik, tapi juga “tertampar” dengan munculnya free downloader yang menjamur dan makin susah dicegah. Munculnya teknologi internet memang bak pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan karena musisi bebas berkarya dan bisa dinikmati pendengar seluruh dunia, tapi disisi lain, bagi band atau label yang materinya dicomot mentah-mentah tanpa royalty, tentu ini seperti pencurian di siang bolong.
Coba ketik ‘music download’ di google. Jangan pingsan kalau Anda menemukan angka 2,360,000,000 item yang bisa dipakai untuk mendownload musik secara gratis. Label atau artis rilis hari ini, sore nanti mungkin sudah tersentak di jagat maya, unduh gratis dan utuh. Ini bukan angka kecil dan tidak main-main, karena industri musik seluruh dunia pun mengalaminya. Mau menggugatnya? Sampai dunia kiamat, tampaknya belum akan selesai gugat menggugat itu.
Teknologi informasi mempengaruhi musik dalam berbagai hal. Salah satunya adalah mengubah media yang digunakan untuk mengantarkan musik ke pendengar, yang berubah dari format analog (kaset dan piringan hitam) ke digital (CD dan MP3). Setelah masuk ke dunia digital, masalah (dan kesempatan) mulai muncul. Penerapan harga (pricing) musik dalam format digital merupakan pengalaman baru bagi pelaku bisnis musik.
Mari kita lihat pricing kaset dan CD lebih dahulu. Harga CD lebih mahal dari kaset. Ini menjadi pertanyaan bagi saya. Kalau kita lihat dari media yang digunakan, kaset kosong lebih mahal daripada CD atau bahkan DVD kosong. Kaset kosong harganya sekitar Rp 5000,- sementara CD kosong harganya Rp2500,-. Proses duplikasi CD semestinya lebih mudah dan cepat daripada proses duplikasi kaset yang sangat rentan terhadap faktor noise. Dilihat dari hal-hal ini, semestinya harga CD lebih murah daripada harga kaset.
Data lain, kaset malah sudah dianggap “fosil” oleh negara tertentu. Seperti berita yang saya kutip dari BussinessWeek, kaset yang dulu pernah berjaya kini juga harus mengalah atas kelahiran musik digital. Bahkan pemutarnya pun akan dimusnahkan. Siap-siap. Setali tiga uang dengan disket (floppy disk) yang dibunuh media modern seperti CD atau flashdrive.
Di era teknologi canggih seperti sekarang ini, sesuatu yang ‘berbau’ digital memang makin diminati. Musik digital salah satunya. Penjualan musik digital di Amerika Serikat (AS) melonjak 60 persen pada semester pertama 2007. Sementara itu, dominasi musik digital di pasaran berdampak pada runtuhnya penjualan compact disc (CD).
Data yang dirilis Nielsen SoundScan, secara keseluruhan penjualan album turun 15 persen baik yang dikemas dalam bentuk CD maupun digital. Penjualan musik digital dalam bentuk CD sendiri jatuh 19,3 persen menjadi 205,7 juta unit. Sedangkan penjualan album digital melonjak 60 persen menjadi 23,5 juta unit
Para analis memprediksi, penjualan CD akan turun lebih cepat mengingat makin maraknya industri musik yang bertransisi ke format digital seperti MP3. Soal penjualan musik digital, saat ini masih didominasi oleh layanan musik iTunes milik Apple dengan pangsa pasar lebih dari 70 persen.
Sekarang terbentang data dan fakta seperti itu. Lalu bagaimana sebaiknya industri musik Indonesia, termasuk di dalamnya musisi-musisi yang mencari nafkah dari situ? Jangan-jangan fakta dan data yang “mengerikan” ini mereka juga tidak tahu?
Saya tentu tidak akan mengerti sedetil orang label atau mereka yang memang berkutat dengan persoalan ini. Saya melihat dari sudut pandang wartawan yang berdiskusi [mungkin, ketika berdiskusi dengan label atau musisi, ada data yang tidak diungkap, itu bisa saja]. Tapi kalau boleh memberi masukan, da beberapa hal yang bisa dilakukan.

1. Percepat Proses Digitalized
Industri ini bergerak cepat. Setiap hari ada perkembangan baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Belajar dan belajar menjadi penting. Tak Cuma itu, kita juga dituntut untuk sigap dan mengerti perkembangan teknologi yang bergulir. Ketika label, musisi, atau siapapun yang bergerak di industri ini kalah cepat dengan “perompak, pembajak, penjahat” yang juga cari makan dari lahan ini, sebenarnya lonceng kematian sudah ditabuh.
Bagi musisi, fisik CD memang masih jadi bukti eksistensinya. Tapi kelak, hal ini tidak bisa diandalkan. Ketika kemudian bentuk fisik sudah tidak jadi incaran, mungkin perlu perangkat lain untuk tetap eksis. Salah satunya adalah digitalized. Entuknya bisa macam-macam. Mungkin kelak, tidak ada lagi toko kaset atau CD, tapi kios-kios kecil yang ketika ingin membeli album idola kita, hanya transfer lewat flashdisk yang sudah ditandai khusus. Atau kelak mungkin ada teknologi baru yang lebih canggih lagi. Entahlah, tapi itu mungkin.

2. Memperbarui Manajemen Bisnis Keartisan
Dulu, ketika ada anak bercita-ciat jadi musikus, mungkin banyak orang tua yang menolaknya. Tapi sekarang, bisa jadi kasusnya terbalik. Orangtua justru mendorong anaknya untuk latihan alat musik, ngeband, ngetop dan ikut kecipratan ngetopnya.
Manajemen keartisan sudah jadi kajian di beberapa lembaga, meski belum secara formal. Di Australia ada satu kampus yang membuka Ilmu Manajemen Keartisan. Artinya, dunia keartisan pun perlu punya manajemen yang benar, efektif dan tepat guna.
Maaf, saya harus mengatakan, di Indonesia banyak musisi [99 persen], banyak yang menggampangkan profesi musisinya sendiri. Tidak anyak musisi kita yang punya manajer dalam artis sesungguhnya. Yang saya pelajari, manajer ini bukan tukang angkat koper si artis, aatu pasang badan ketika si artis digempur infotainment, tapi lebih dari itu. Mereka harus benar-benar punya kemampuan planning public relation, finance, dan marketing yang benar.
Maaf juga kalau saya harus mengatakan, banyak musikus yang tidak punya milestone yang jelas karirnya mau dibawa kemana. Mereka hanya mengatakan, ikut air mengalir. Lah, kalau muaranya ke selokan? Masak iya mau ikut air mengalir terus? Mengapa ini penting, karena tidak jarang musisi yang hidupnya melarat dan kesusahan ketika pamornya turun, ordernya sepi dan karyanya tak didengar orang lagi. Kecuali dia pengusaha, konglomerat, atau punya ‘pabrik uang’ yang nggak pernah habis, silakan saja suka-suka. Itupun tetap harus bisa mempertanggung-jawabkan karyanya.

3. Komitmen Jangka Panjang
Jika Anda tidak jujur melihat diri Anda sendiri sebagai seorang musisi lebih dari 6 bulan sampai satu atau dua tahun, maka Anda sedang melalui sebuah fase yang bagi kita musisi “beneran” selalu berharap agar Anda MENGHILANG secepatnya! Menjadi seorang musisi adalah kerja keras seumur hidup, bukannya iseng-iseng! Musisi-musisi yang sukses di industri musik tidak sekadar memasukkan jempol kaki mereka untuk memeriksa keadaan air, mereka langsung terjun dengan kepala mereka lebih dahulu dan TIDAK pernah melihat ke belakang lagi! Sekali Anda telah menjadi seorang musisi maka seumur hidup Anda akan terus menjadi musisi! (Jeffrey A. Macak).

4. Menguatkan Cyber Public Relation [Cyber-PR]
Sekarang sedang happening istilah Cyber-PR. Untuk band baru atau siapapun yang bergolak di industri musik, hal ini mejadi sangat penting. Ini menjadi keharusan bagi label, musisi atau manajemen artis, supaya tetap eksis dan menjadi band yang long lasting.
Apa sebenarnya Cyber-PR? Gampangnya begini: PR yang dilakukan dengan sarana Media elektronik internet dalam membangun merek (brand) dan memelihara kepercayaan (trust), pemahaman, citra perusahaan/organisasi kepada public/khalayak dan dapat dilakukan secara one to one communication bersifat interaktif.
Artis sebagai brand yang harus dibangun, perlu manajemen yang kuat dan pandai menjual. Dia perlu mempertegas kepada khalayak, bahwa artisnya bagus, karyanya bagus dan layak diminati. Di era internet ini, tak perlu bertatap muka secara langung, ada banyak sarana yang bisa dimanfaatkan untuk menjadi cber-PR yang kreatif, strategis dan menarik. Meski, tatap muka dengan fans, juga pentingn maknanya. Ini belum banyak dipelajari, tapi di kalangan PR, hal ini sedang hangat diperbincangkan
Di dunia musik Indonesia, hal ini sudah dilakukan oleh beberapa band, seperti Everybody Loves Irene [ELI]. Dan hasilnya, tidak bisa dibilang buruk. Meski kalau bicara hitungan bisnis, tentu masih perlu pembenahan lebih baik. Tapi bicara brand, ELI sudah bisa jadi citra sebuah produk. Ada band-band lain yang sudah mencoba melakukan hal ini juga, semoga hasilnya juga akan baik.
Memang tidak bisa main-main, karena perlu orang yang mengerti teknologi dan dunia public relations. Kalau hal ini bisa disinergikan dengan kekuatan PR offline-nya, tentu akan membuahkan hasil yang baik. Jangan tanya seberapa dan kapan siapnya, karena harus siap.
sumber

Selasa, 06 September 2011

Chord dan Lirik TISA - Kaktuz

Share
TISA
Cipt. Ayak Kaktuz


E B A E B

Mengapa semua harus saat semua cinta dan sayangku tercurah untukmu

E B A E B

Mengapa kini kau ingkari janji-janji manis yang tlah kauberi

F#m C#m F#m C#m B

Dimana kau dulu kemana kau berlalu

E B A E B

Kau slalu bilang maafkan aku sakitnya hati tak pernah engkau tau

E B A E B

Mengapa dulu kau minta padaku bila sekarang kau bunuh diriku

F#m C#m F#m C#m B

Dimana kau dulu kemana kau berlalu


Reff:


E B C#m A B E

Disini ku slalu berharap smoga kau sadar dengan smua yang kau perbuat

E B C#m A B E

Dan kau tau betapa sakitnya aku....berteriak memanggil namamu

****

E B C#m A B E

Disini ku slalu berharap smoga kau sadar dengan smua yang kau perbuat

E B C#m A B

Dan kau tau betapa sakitnya aku....

Overtone

F# C# D#m B C#

Disini ku slalu berharap smoga kau sadar dengan smua yang kau perbuat

F# C# D#m B C#

Dan kau tau betapa sakitnya aku.... Berteriak memanggil namamu

F# C# D#m B C#

Kau tlah lupakan aku , kau tlah lukai aku, kau tlah hancurkan aku