Minggu, 16 Oktober 2011

Menunggu Lahirnya Reog n’Roll, Jathilan Jazz, Ebeg Rock & Metal Kuda Lumping?

Share
Anggap saja ini ide nyeleneh tapi tetap beradab. Mengolaborasikan kegilaan musisi rock dengan mistikal kebudayaan lokal. Hmm, sebenarnya bukan hal baru sih. Band rock lawas Rawe Rontek pernah mendistribusikan roh mistikal debus dengan rock yang mereka ganyam. Hasilnya memang heboh ketika di panggung, meski itu tidak selalu berarti mereka bakal sukses di industri.
Tak banyak musisi yang mengerti tentang sejarah, budaya dan sinergi antara karya dan kebudayaan. Ketika manggung, mereka hanya benar-benar manggung dan menjadi musisi an sich. Tak peduli band pop, rock, dangdut atau jazz misalnya. Mereka hanya berpikir soal performance, tapi nyaris tak pernah memikirkan bagaimana diversifikasi dan kreatifitas musikalitas yang mereka usung, kemudian bisa menjadi pergelaran budaya utuh
Saya hanya membayangkan, kelak ketika dunia makin ‘beruban’ dan budaya tradisi makin diabaikan, alangkah malangnya nasib pecinta kesenian yang terbodohi oleh modernisasi semu. Mereka hanya mengenal dunia sekarang tanpa pernah menginjak masa lalu. Padahal Soekarno, proklamator kita itu, pernah mengatakan: “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” atau terkenal dengan singkatan JasMerah. Ini konkruen juga dengan relic-relic kebudayaan lokal itu.
Saya termasuk orang yang suka dengan akulturasi, apapun itu, termasuk budaya. Ketika musik bersinergi dengan budaya itu, akan lebih menarik ketika menghasilkan satu budaya baru yang memperkaya
Saya mengambil contoh budaya reog. Buat saya, kesenian asli Ponorogo ini punya spirit rock n’ roll yang amat kental. Mereka –para pemain reog itu—punya kekuatan linuwih yang membuat mereka bisa mengangkat topeng yang beratnya puluhan kilogram dengan menggigitnya. Atau mengusung manusia di atas topeng itu, tetap dengan menggigitnya. Gambaran keberanian dan karakter laki-laki yang tegas, kuat dan egois, nampak semua dalam filosofi reog itu
Tiba-tiba pikiran saya membayangkan bagaimana seandainya reog itu berpadupadan dengan dinamika musikal modern. Meski hanya dalam wujud sinergi di panggung, tapi kekuatan energi yang muncul pasti akan memberi kekuatan untuk lebih diperhatikan. Jangan sampai semua merasa memiliki nasionalisme [omong kosong] ketika diklaim oleh pihak lain. “Kalau sudah diakui pihak lain, baru kita berteriak. Jadi, mengapa kita tidak memperkuat kecintaan kepada budaya itu,” ucap seorang punggawa punk, yang beberapa kali tampil ala reog di panggung.
Itu hanya contoh saja. Kita bisa menyinergikan jathilan, atau ebeg [Banyumas], Kuda Lumping atau bentuk kebudayaan lain yang bergerak dengan dinamika modernisasi. Katakanlah musik. Musik juga lahir sebagai satu kebudayaan. Kalau kemudian lahir berbagai genre yang lebih cepat melesat, punya fans dan pengikut yang besar, alangkah baiknya menggamit budaya lain yang similair dan bisa bersinergi.
Kelak ketika muncul jenis musik bertajuk Reog n’Roll, Ebeg Rock, Jathilan Jazz atau Metal Kuda Lumping, kita tidak kaget dan justru bangga karena itulah muatan lokal yang menggembirakan. Bukan sesuatu yang naïf bukan?
sumber